Harus Mengikuti Perkembangan Zaman atau Tidak?

Pernahkah kamu bertanya dalam hati, “Apakah beragama di zaman sekarang harus menyesuaikan perkembangan zaman, atau cukup kita berpegang pada cara lama?” Pertanyaan ini sederhana, tetapi sering membingungkan. Sebagai bagian dari exponential generation, kamu hidup di era penuh perubahan, dimana era yang tidak pernah diam, selalu bergerak, dan seringkali membuatmu berpikir, apakah nilai agama masih relevan?
Saya, Azmi Fajri Usman ingin mengajakmu merenung bersama. Sebab, beragama itu bukan hanya soal ibadah dan doa, tapi juga soal bagaimana kamu memaknai kehidupan dalam konteks zaman yang terus berubah.
Agama adalah Prinsip, Zaman adalah Sarana

Hal pertama yang harus kamu pahami adalah, jika agama itu prinsip, sementara zaman hanyalah sarana.
Islam tidak pernah basi. Nilai-nilainya tetap abadi. Shalat lima waktu, puasa Ramadan, zakat, haji, akidah tauhid. Semua itu adalah fondasi yang tidak bisa diganti hanya karena dunia sekarang mengenal kecerdasan buatan, metaverse, atau gaya hidup digital.
Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah: 3
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agamamu.”
Ayat ini jelas menegaskan, kalau agama itu sudah sempurna. Tidak ada lagi yang bisa ditambah atau dikurangi. Jadi, siapa pun yang mencoba mengutak-atik prinsip Islam hanya agar sesuai zaman, sebenarnya sedang keliru besar.
Namun, apakah itu berarti kita harus kaku? Tidak. Justru perkembangan zaman bisa menjadi alat untuk membuat agama lebih mudah dipahami dan diamalkan.
Perkembangan Zaman itu Musuh atau Sahabat?

Kamu mungkin pernah mendengar ucapan orang tua, “Anak zaman sekarang terlalu banyak main HP, jadi jauh dari agama.” Di satu sisi, ucapan itu benar. Banyak anak muda lalai shalat hanya karena sibuk scroll TikTok. Tapi di sisi lain, tahukah kamu kalau justru melalui HP itulah, dakwah bisa menjangkau jutaan orang yang tidak pernah datang ke masjid?
Dulu, para ulama menulis kitab dengan tinta dan kertas. Sekarang, kitab yang sama bisa kamu baca dalam aplikasi. Dulu, belajar tafsir harus pergi jauh ke pesantren. Sekarang, kamu bisa ikut kajian internasional hanya dengan Zoom.
Perkembangan zaman bukan musuh agama. Ia adalah sahabat, selama kamu bisa mengendalikannya. Persoalannya bukan pada teknologinya, tapi pada bagaimana kamu menggunakannya.
Contoh sederhana yang sering diperdebatkan, larangan HP di pesantren bisa dimengerti niat baiknya, yaitu agar santri fokus. Tapi kalau terlalu kaku, justru membuat santri tidak bisa upgrade dan update dirinya. Akhirnya, mereka sulit berdialog dengan realitas dunia modern.
Idealnya, pesantren harus tetap memegang prinsip kesalafian (kesederhanaan, disiplin, fokus agama), tapi juga memberi ruang adaptasi dengan zaman. Sebab, Islam itu bukan hanya untuk masa lalu, melainkan juga untuk masa depan.
Jebakan Gen Z dalam Beragama
Nah, di sinilah masalah muncul. Generasimu sering terjebak pada cara beragama yang instan. Saya menyebutnya jebakan Gen Z. Apa saja cirinya?
Fanatisme tanpa dasar, membela mati-matian seorang ustadz yang sedang viral, padahal belum pernah mempelajari ilmunya secara mendalam.
Kesimpulan cepat, melihat potongan video 30 detik, lalu langsung merasa sudah cukup paham tentang sebuah hukum.
Beragama demi validasi, hijrah dipamerkan, ibadah jadi konten, bukan kebutuhan hati.
Malas mendalami, kamu lebih suka mengutip quote singkat daripada membuka kitab tebal.
Padahal, Allah sudah menegur dalam QS. Al-Isra: 36
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
Ayat ini seakan berbicara langsung kepadamu, jangan ikut-ikutan kalau kamu tidak tahu dasarnya.
Jadi, Haruskah Anda Mengikuti Perkembangan Zaman atau Tidak?
Jawaban saya sederhana, iya dalam sarana, tidak dalam prinsip.
Iya, karena kamu harus memanfaatkan perkembangan zaman sebagai alat. Media sosial bisa jadi medan dakwah, podcast bisa jadi majelis ilmu, aplikasi bisa jadi pengingat ibadah.
Tidak, karena prinsip agama tidak pernah bisa ditawar. Tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat hanya karena sibuk. Tidak ada alasan untuk melanggar syariat hanya karena “kondisi zaman sudah modern.”
Ingat, perkembangan zaman hanyalah kendaraan. Agama adalah arah dan tujuan. Kalau kendaraanmu rusak, kamu bisa ganti. Tapi tujuan tidak boleh berubah.
Bagaimana Menjadi Religius di Zaman Ini?
Saya ingin memberi beberapa panduan sederhana untuk kamu, generasi muda Exponential Generation, agar tetap kokoh beragama di era serba cepat ini:
Pegang erat prinsip agama. Jangan biarkan perkembangan zaman membuatmu ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah.
Manfaatkan teknologi untuk kebaikan. Jadikan media sosial bukan hanya tempat hiburan, tapi juga tempat dakwah.
Belajar dari sumber yang otoritatif. Jangan hanya puas dengan konten singkat. Datangi guru, buka kitab, ikuti majelis.
Jangan cepat menghakimi. Belajarlah tabayyun, memeriksa kebenaran sebelum mengikuti atau menyebarkan sesuatu.
Beragama dengan hati, bukan sekadar formalitas. Jangan jadikan ibadah sebagai ajang pencitraan.
Agama di Tengah Modernitas
Banyak anak muda merasa tertekan, di satu sisi ingin terlihat religius, di sisi lain tidak ingin ketinggalan tren. Akhirnya, mereka mencampuradukkan agama dengan gaya hidup.
Misalnya, berhijrah tapi hanya sekadar fashion, rajin mengutip ayat tapi jarang membuka mushaf, ikut kajian tapi lebih sibuk update story daripada mendengarkan isi kajian.
Inilah tantangan terbesarmu, bagaimana menjaga hati agar tetap lurus. Rasulullah SAW bersabda:
“Ingatlah, sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim)
Zaman boleh berubah, teknologi boleh maju, tetapi bila hati tidak terjaga, maka semua akan sia-sia.
Menjadi Generasi Exponential yang Berprinsip
Kamu adalah bagian dari Exponential Generation, sebuah kurikulum kehidupan yang saya hadirkan agar kamu bisa tumbuh lebih cepat, lebih kuat, dan lebih bermanfaat. Tapi ingat, percepatan tanpa arah hanya akan membuatmu tersesat lebih cepat.
Beragama di zaman ini menuntutmu untuk punya prinsip yang kokoh, tapi juga fleksibilitas untuk menggunakan sarana modern. Kamu tidak boleh kaku menolak teknologi, tapi juga tidak boleh larut dalam tren hingga melupakan prinsip.
Agama Selalu Relevan
Kamu tidak perlu takut. Islam tidak akan pernah tertinggal zaman. Islam adalah cahaya yang selalu relevan, entah di zaman unta atau di zaman metaverse.
Jadi, kalau ada yang bertanya, “Haruskah beragama mengikuti perkembangan zaman?” Jawab dengan mantap, agama adalah prinsip yang tetap, sementara perkembangan zaman hanyalah sarana.
Pegang teguh agamamu, pergunakan waktumu dengan bijaksana, niscaya engkau akan menemukan jalan yang lurus di tengah dunia yang senantiasa berubah.
Literatur
Al-Qur’anul Karim, QS. Al-Maidah: 3, QS. Al-Isra: 36.
Hadits HR. Malik, Bukhari-Muslim.
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin.
Syed Naquib al-Attas, Islam and Secularism (1978).
Harari, Yuval Noah. 21 Lessons for the 21st Century (2018), tentang tantangan modernitas.
