Syukur Itu Egois!

Syukur Itu Egois, Perspektif Exponential Generation

Kedengeran aneh, ya? Kok bisa-bisanya syukur disebut egois? Bukannya dari kecil kita diajarin kalau syukur itu mulia, bikin hati tenang, dan membawa keberkahan? Betul. Tapi justru karena itu, banyak orang salah kaprah soal makna syukur. Mereka pikir syukur itu pasrah, syukur itu diem, syukur itu nggak usah usaha lagi. Nah, di sinilah letak “egois”-nya.

Dalam kurikulum Exponential Generation yang ditemukan Azmi Fajri Usman, ngajarin kita kalau syukur itu harus naik level, daripada sekadar egois

Syukur sering dipakai cuma buat kepentingan diri sendiri, biar hati terlihat adem, biar nggak iri sama orang lain, biar nggak stres mikirin kekurangan. Nggak salah, tapi kalau berhenti di situ, berarti syukur kita masih setengah jalan. Dalam kurikulum Exponential Generation yang ditemukan Azmi Fajri Usman, ngajarin kita kalau syukur itu harus naik level, contohnya daripada sekadar egois buat diri sendiri, mending energi kita buat bergerak dan ngasih manfaat lebih luas.

Syukur yang Salah Kaprah

Coba deh kamu perhatiin. Sering banget orang bilang, “Ya udahlah, sabar dan bersyukur aja.” Kedengerannya bijak, tapi sering kali dipakai buat nutupin rasa malas atau menutupi ketidakberdayaan dirinya.

Sumber: https://share.google/MSLvr2VJfQmZNd4PY

Gagal bisnis? “Ya udah, syukuri aja. ”Nggak keterima kerja? “Syukuri aja, mungkin belum rezeki.” Malas belajar? “Santai aja, syukuri aja apa adanya.” Kalau gitu, syukur jadi alesan kamu nggak pernah berkembang. Syukur model ini bikin orang pasif, stuck di zona nyaman, bahkan jadi alasan buat nggak ambil langkah maju. Dan itu bohong besar, karena syukur yang bener, nggak pernah bikin orang berhenti.

Syukur Versi Exponential Generation

Dalam konsep Exponential Generation yang ditemukan oleh Pak Azmi Fajri Usman, manajemen waktu dipandang bukan sekadar angka di jam dinding

Menurut perspektif Exponential Generation, syukur itu bukan kata berhenti, tapi kata kerja. Syukur artinya bergerak, berbuat, dan ngasih impact.

Kalau kamu benar-benar bersyukur atas kesehatan, maka kamu jaga tubuhmu biar makin bermanfaat. Kalau kamu bersyukur atas ilmu, ya jangan disimpen sendiri, bagikan, kembangkan, dan jadikan solusi buat orang lain.

Jadi, syukur itu memang “egois” di awal, karena bikin hati kamu tenang, bikin mental lebih positif, bikin kamu tahan banting. Tapi setelah itu, syukur sejati harus berubah jadi energi pertumbuhan. Itulah spirit anak muda Exponential Generation, syukur yang aktif, syukur yang produktif.

Syukur dan Karakter Jiwa

Syukur bukan cuma soal ucapan “Alhamdulillah” atau “Thank God”. Dia nyambung langsung sama karakter inti manusia. Di RQV Foundation, karakter jadi pondasi penting. Dan kalau kita bicara syukur, ada beberapa karakter yang kebangun otomatis.

1. Rendah Hati – Orang yang bersyukur sadar bahwa apa yang dia punya bukan hasil usahanya doang, tapi ada campur tangan Tuhan dan orang lain.

2. Optimis – Syukur bikin kamu lihat sisi baik bahkan dari kesulitan.

3. Kreatif – Dari rasa syukur lahir ide baru, karena kamu mau manfaatkan nikmat yang ada sebaik mungkin.

4. Pemaaf – Bersyukur bikin hati lebih lapang, nggak gampang nyalahin keadaan atau orang lain.

Karakter inilah yang bikin anak muda generasi sekarang bisa naik kelas, dan jadi bagian dari Exponential Generation.

Tokoh yang Hidup dengan Syukur Produktif

Sejarah penuh dengan orang-orang yang hidupnya digerakkan sama rasa syukur, tapi bukan syukur pasif.

Thomas Edison, gagal ribuan kali bikin bola lampu, tapi tiap kegagalan dia syukuri sebagai ilmu baru.

Imam Syafi’i, meski udah jadi ulama besar, beliau tetap rendah hati, terus belajar, dan menganggap setiap guru sebagai sumber ilmu.

Mahatma Gandhi, rasa syukurnya pada kehidupan bikin dia terus berjuang damai, meski dicaci dan dipenjara.

Mereka semua punya syukur yang nggak berhenti di hati, tapi berbuah aksi.

Hambatan Syukur di Era Digital

Sayangnya, banyak anak muda sekarang ketipu sama “syukur instan”.

1. Toxic Positivity – Cuma bilang “syukur aja deh” biar kelihatan kuat, padahal di dalamnya nyimpen rasa malas dan nggak mau usaha.

2. Distraksi Media Sosial – Lebih sibuk ngeluh atau pamer di medsos daripada bener-bener memaknai nikmat yang ada.

3. Syukur Pasif – Bersyukur dijadikan dalih untuk nggak berkembang.

Padahal, kalau bener-bener paham arti syukur, justru harusnya kita semakin lapar buat belajar, semakin semangat buat berbuat.

Syukur Itu Investasi Masa Depan

Kamu tau nggak, penelitian psikologi modern nemuin kalau orang yang rutin bersyukur punya mental lebih sehat, tidur lebih nyenyak, bahkan hubungan sosial yang lebih kuat. (Emmons, 2007). Jadi jelas banget, syukur pertama-tama emang “egois” karena bikin diri sendiri bahagia.

Tapi berhenti di situ aja? No way. Generasi yang bakal bawa Indonesia menuju 2045 (Indonesia Emas) butuh lebih dari itu. Butuh anak muda yang bisa mengubah rasa syukur jadi kekuatan kolektif. Syukur bikin kita nggak gampang iri, bikin kita fokus sama apa yang bisa kita maksimalkan, dan akhirnya menghasilkan karya besar.

Penutup

Jadi, bener nggak kalau syukur itu egois? Jawabannya iya, tapi itu baru langkah awal. Syukur egois itu yang bikin kamu tenang, sehat, dan positif. Tapi kalau berhenti di situ, itu artinya kamu cuma mikirin diri sendiri.

Syukur versi Exponential Generation justru ngajarin kita, kalau dari rasa syukur pribadi lahirlah aksi nyata yang manfaatnya meluas. Dari egois jadi altruistis. Dari sekadar nikmat pribadi jadi keberkahan bersama.

Syukur sejati bukan “terima apa adanya”, tapi “mengubah apa adanya jadi luar biasa”.

Artikel ini ngambil Referensi dari:

Emmons, R. A. (2007). Thanks!: How the New Science of Gratitude Can Make You Happier. Houghton Mifflin Harcourt.

Brown, B. (2010). The Gifts of Imperfection. Hazelden Publishing.

Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being. Free Press.

Al-Qur’an, Surah Ibrahim ayat 7.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top