Orang Pemaaf Itu Bodoh

Kamu mungkin kaget atau bahkan tersinggung waktu baca judul ini. Masa iya sih, orang pemaaf itu bodoh? Bukannya memaafkan itu bagian dari akhlak mulia, bahkan jadi salah satu ajaran utama dalam agama? Betul banget, memaafkan itu ibadah, sebuah kemuliaan.
Tapi, ada satu sisi lain yang jarang dibahas, yaitu kalau memafkan yang salah kaprah bisa bikin kita jatuh dalam kebodohan.
Jadi sebenarnya bukan pemaaf yang salah, tapi cara kita memahami dan mempraktikkan memaafkan. Di era anak muda sekarang, ketika kita bicara soal membangun Exponential Generation, kita nggak bisa berhenti di “memaafkan itu baik.”
Kita harus melangkah lebih jauh, soal gimana caranya jadi pemaaf yang cerdas, bukan pemaaf bodoh.
Kenapa Pemaaf Itu Penting?

Sebelum ngomongin soal bodoh atau cerdas, kita perlu sepakat dulu, kalau karakter pemaaf itu penting. Tanpa karakter pemaaf, hati kita bakal penuh dendam, energi kita kebuang buat balas sakit hati, dan hidup kita stuck di masa lalu.
Rasulullah SAW adalah teladan terbaik soal ini. Saat beliau disakiti, dilempari, bahkan difitnah, beliau tetap memilih untuk memaafkan. Itu bukan kelemahan, tapi kekuatan hati. Memaafkan justru membuat beliau semakin tinggi derajatnya.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menulis bahwa memaafkan adalah bentuk kebesaran jiwa yang bikin hati menjadi bersih dari kebencian. Tapi, beliau juga mengingatkan bahwa kita juga tidak boleh kehilangan prinsip.
Artinya, memaafkan bukan berarti meniadakan keadilan atau menghapus pelajaran dari sebuah peristiwa.
Pemaaf yang Bodoh Itu Seperti Apa?
Nah, di sinilah masalahnya. Banyak orang berhenti pada kalimat, “Pokoknya maafin aja, biar hati tenang.” Tapi akhirnya malah jadi pemaaf bodoh.
Ciri-ciri pemaaf bodoh, itu yang selalu memaafkan, tapi tanpa belajar apa-apa. Ia membiarkan orang yang sama menyakitinya berulang kali. Bingung membedakan antara memaafkan dan membiarkan diri diinjak. Menganggap memaafkan berarti menutup mata dari kebenaran.
Contoh nyatanya seperti, teman yang selalu manfaatin kamu. Pinjam uang nggak balik, bohong berkali-kali, tapi setiap kali minta maaf, kamu maafin tanpa ada batas. Akhirnya? Dia ngulang lagi, lagi, dan lagi. Nah, di sinilah pemaaf bodoh terjadi.
Pemaaf Yang Cerdas Itu Gimana?
Beda banget dengan pemaaf cerdas.
Ciri-ciri pemaaf cerdas, Ia pasti memaafkan dengan tulus, tapi tetap ambil pelajaran. Ia juga punya batas (boundaries) yang jelas, nggak biarin dirinya dirugikan berkali-kali. Nggak dendam, tapi juga nggak ngizinin kesalahan yang sama terjadi lagi. Mengubah pengalaman pahit jadi bekal untuk melangkah lebih jauh.
Kata Imam Ahmad bin Hanbal, seorang mukmin itu bisa jatuh ke lubang yang sama, tapi tidak seharusnya jatuh dua kali. Artinya, kita harus belajar dari pengalaman, termasuk pengalaman memaafkan. Kalau itu cuma bikin kita jatuh ke lubang yang sama, itu bukan kebaikan, tapi kebodohan.
Pelajaran dari Ulama

Dalam Kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, Ibn Rajab al-Hanbali menafsirkan hadis tentang menahan amarah dan memaafkan orang lain. Beliau bilang, memaafkan itu mulia, tapi orang beriman juga dituntut untuk ’adl (adil). Jadi, boleh saja, tapi bukan berarti menghapuskan keadilan.
Contohnya Imam Syafi’i. Beliau dikenal sebagai ulama yang lembut, tapi juga sangat tegas dalam urusan prinsip. Beliau bisa memaafkan orang yang berbeda pendapat, tapi nggak pernah kompromi soal kebenaran. Itu contoh nyata pemaaf cerdas, punya hati lapang, pikiran tajam, langkah tegas.
Pemaaf dalam Exponential Generation
Nah, kalau kita tarik ke konsep Exponential Generation yang ditemukan oleh Azmi Fajri Usman, pemaaf itu masuk dalam pilar karakter jiwa. Tapi jangan lupa, Exponential Generation bukan generasi lemah. Mereka bukan generasi yang hidupnya cuma ikut arus, tapi generasi yang berani bikin arus baru.
Bayangin kalau anak muda generasi ini cuma jadi pemaaf bodoh. Mereka bakal habisin energi untuk drama hidup, ngulang-ngulang kesalahan yang sama, dan akhirnya nggak punya ruang buat berkembang.
Tapi kalau jadi pemaaf cerdas, beda cerita. Mereka maafin orang, tapi fokusnya bukan di masa lalu, melainkan ke masa depan. Mereka nggak buang waktu buat dendam, tapi juga nggak ngizinin orang lain ngehancurin mereka lagi.
Energi mereka full dipakai buat berkarya, bikin tren, dan memberi manfaat yang berlipat. Itulah kenapa, Exponential Generation butuh pemaaf cerdas.
Pemaaf Cerdas itu Pemenang
Kalau kamu mau jadi pemenang, kamu harus belajar jadi pemaaf cerdas. Karena dua hal ini nggak bisa dipisahkan:
1. Kalau kamu pendendam, kamu habisin energi buat hal-hal yang nggak penting.
2. Kalau kamu pemaaf bodoh, kamu biarin orang lain terus-terusan nyakitin kamu.
Keduanya bikin kamu kalah.Tapi kalau kamu pemaaf cerdas, kamu menang dua kali, yaitu menang atas dirimu sendiri karena nggak dikuasai dendam, dan menang atas situasi karena kamu belajar dan melangkah lebih jauh.
Jadi, Siapa yang Bodoh?
Jadi, kalau ada yang bilang “Orang pemaaf itu bodoh”, jangan salah paham dulu. Yang bodoh itu bukan orang yang memaafkan, tapi orang yang memaafkan tanpa belajar.
Memaafkan itu kekuatan, tapi kekuatan itu harus digabung sama kecerdasan. Karena anak muda yang jadi bagian dari Exponential Generation harus punya dua hal, hati yang luas, tapi juga otak yang tajam.
Terakhir!
Pemaaf itu nggak pernah salah. Tapi pemaaf bodoh itu bahaya. Karena dia bukan hanya nyakitin dirinya sendiri, tapi juga ngehambat pertumbuhan.
Exponential Generation butuh anak muda yang jadi pemaaf cerdas, yang berani memaafkan, tapi juga berani belajar. Yang nggak dendam, tapi juga nggak gampang dimainin. Yang pakai luka sebagai bahan bakar untuk melompat lebih tinggi.
Kalau kamu masih jadi pemaaf bodoh, waktunya berubah. Maafin orang, tapi jangan lupa belajar. Hapus dendam, tapi jangan hapus prinsip. Jadilah pemaaf cerdas, karena itulah karakter yang bikin kamu layak jadi bagian dari Exponential Generation.
Referensi dari :
Kitab Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Kitab Ibn Rajab al-Hanbali. Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam. Cairo: Dar al-Salam.
Kitab Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad Ahmad.