Cara Manajemen Waktu
Waktu adalah nikmat paling berharga yang Allah berikan kepada manusia. Semua orang mendapatkannya dalam jumlah yang sama, yaitu dua 24 jam sehari. Tetapi, hasil dari waktu itu akan sangat berbeda, tergantung bagaimana kita menggunakannya.

Saya, Azmi Fajri Usman, mungkin tidak punya banyak cerita manis tentang masa kecil saya. Saya lahir sebagai seorang anak yatim piatu. Ayah saya meninggal ketika saya masih sangat kecil, bahkan nyaris tak menyisakan ingatan tentang wajahnya. Tidak ada foto yang bisa saya simpan, tidak ada bayangan utuh tentang sosoknya. Saya hanya merasakan sedikit waktu bersamanya, dan lebih banyak dengan ibu. Namun, takdir Allah berjalan, ibu pun kemudian menyusul, meninggalkan saya di usia yang masih belia.
Kehilangan itu membuat saya sadar satu hal, kalau waktu bersama orang yang kita cintai begitu singkat, dan bisa hilang kapan saja. Sejak saat itu, waktu bagi saya bukan lagi sekadar angka di jam dinding. Waktu adalah kehidupan itu sendiri.
Belajar Disiplin dari Kehidupan yang Singkat
Walau yatim piatu, saya mendapat warisan yang lebih berharga dari sekadar harta, yaitu warisan kedisiplinan dan nilai hidup dari orang tua. Saya masih mengingat betul, sebelum ayah pergi, ia sering menasihati saya, ia selalu bilang “Siapa yang menghargai waktu, maka dia akan dihargai oleh kehidupan.”
Kalimat itu melekat dalam jiwa saya. Kehidupan bersama ibu pun penuh dengan keteguhan, walaupun singkat. Ia selalu menekankan bahwa waktu tidak boleh disia-siakan.
Hidup saya kemudian penuh dengan perjuangan. Namun dari pengalaman itu, saya belajar, bahwa orang yang kehilangan waktu bersama orang tuanya akan lebih paham betapa berharganya setiap detik.
Mengapa Mereka Memanggil Saya “Abi”
Anak-anak di sini tidak memanggil saya ustadz. Mereka memanggil saya “Abi” singkatan dari (Ayah Baru Indonesia). Saya ingin hadir bagi mereka, anak-anak yatim yang pernah merasakan sepi seperti saya dulu. Saya ingin waktu yang saya punya sekarang, saya gunakan untuk mendampingi mereka, mendidik mereka, dan mencintai mereka seperti seorang ayah.

Saya percaya, Allah mengambil ayah dan ibu saya di usia kecil agar saya bisa memahami luka yang sama, lalu menjadikannya kekuatan untuk orang lain. Dari situlah lahir Exponential Generation, kurikulum yang tidak hanya membangun kecerdasan, tapi juga jiwa yang penuh kasih.
Multitasking dengan Kehadiran Penuh
Banyak orang berkata saya bisa mengerjakan banyak hal sekaligus, seperti memimpin rapat, mengontrol kebersihan, memberi arahan program, bahkan mendampingi anak-anak. Mereka menyebutnya multitasking.
Tapi bagi saya, ini bukan soal membagi diri ke banyak tempat. Ini soal hadir sepenuhnya di setiap momen.
Saat rapat, saya benar-benar fokus mengambil keputusan. Saat mengurus kebersihan, mata saya detail pada hal-hal kecil. Saat bersama anak-anak, hati saya penuh untuk mereka. Itulah seni manajemen waktu: bukan sekadar sibuk, tapi bermakna.
Waktu Adalah Amanah
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-‘Ashr (103): 1-3:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.”
Ayat ini mengajarkan bahwa waktu adalah amanah. Tanpa iman, amal, dan kesabaran, waktu akan membawa kita pada kerugian.
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. al-Bukhari)
Hadits ini menegaskan, waktu bisa menipu. Banyak orang merasa masih ada “nanti”, padahal waktu itu bisa habis kapan saja, seperti waktu saya bersama ayah dan ibu yang begitu singkat.
Prinsip Manajemen Waktu yang Saya Pegang
Ada beberapa prinsip yang saya ingin bagi kepada kalian, Exponential Generation:
Prioritas adalah segalanya, tidak semua hal penting harus dilakukan sekarang. Bedakan mana yang utama dan mana yang mendesak.
Cobalah dengan hadir sepenuhnya, jangan setengah hati. Kalau belajar, fokuslah. Kalau ibadah, khusyuklah. Kalau bekerja, selesaikan.
Ingat, tidak ada waktu kosong, gunakan sela-sela waktu untuk membaca, menulis, atau berdiskusi singkat.
Harus paham, kalau disiplin itu warisan hidup, tanpa disiplin, semua teori runtuh. Orang yang disiplin akan selalu menepati janji dan waktu.
Seimbangkan dunia dan akhirat, sibuklah di dunia, tapi jangan lupa menenangkan jiwa bersama Allah.
Pesan untuk Exponential Generation

Kalian adalah anak-anak yang saya cintai. Kalian memanggil saya “Abi”, dan saya menerimanya dengan sepenuh hati. Saya ingin menjadi ayah yang membimbing kalian, agar waktu kalian tidak hilang sia-sia seperti waktu saya yang singkat bersama orang tua dulu.
Jangan pernah kalah oleh waktu. Kendalikanlah waktu kalian. Jadikan setiap detik bermakna. Karena ingatlah, waktu adalah kehidupan itu sendiri.
Saya, Azmi Fajri Usman, seorang yatim piatu yang kehilangan ayah dan ibu di usia kecil, tidak pernah lagi bisa memutar waktu bersama mereka. Tetapi, saya bisa menggunakan waktu saya hari ini untuk mendidik, mendampingi, dan mengasihi kalian, para Exponential Generation.
Inilah manajemen waktu ala saya, bukan sekadar produktif, tapi bermakna. Bukan sekadar sibuk, tapi menghadirkan cinta. Karena pada akhirnya, bukan banyaknya waktu yang kita miliki yang penting, tapi bagaimana kita mengisinya.
Literatur & Referensi:
Al-Qur’an, Surah Al-‘Ashr (103): 1-3.
HR. al-Bukhari, Kitab al-Riqaq, Bab an-Ni’mah fi as-Sihhah wal Faragh.
Covey, S. R. (1990). The 7 Habits of Highly Effective People. Free Press.
Tracy, B. (2007). Time Management. AMACOM.