Idul Adha Tanpa Daging
Setiap tahun, saat gema takbir mengudara dan langit dihiasi semangat Idul Adha, sebagian besar masyarakat Indonesia bersiap untuk menyambut hari besar dengan suka cita. Di kota-kota, hewan kurban memenuhi lapak-lapak, antrean panjang terlihat di tempat penyembelihan, dan bau khas daging segar memenuhi udara.

Tapi tidak semua daerah merasakan suasana itu. Ada tempat-tempat yang sunyi dari suara kambing dan sapi, sunyi dari hiruk-pikuk pembagian daging, dan sunyi dari rasa kenyang karena daging kurban tak kunjung datang.Salah satunya ada di daerah Kecamatan Cijeruk. Cijeruk bukan wilayah yang asing, tapi juga bukan yang sering dibicarakan.
Ia ada, namun seperti tenggelam dalam peta kepedulian. Dalam tiga tahun terakhir, daerah ini nyaris tidak pernah menerima distribusi hewan kurban. Tak ada kambing, apalagi sapi. Bahkan dari kampung sebelah pun tak ada yang datang membawa daging. Bagi masyarakat di sana, Idul Adha hanya hadir dalam bentuk takbir dan salat, tanpa aroma daging panggang atau gulai yang biasa menjadi simbol perayaan. “Kurban di sini itu kadang-kadang,” ujar salah satu warga saat ditanya. “Kadang ada, kadang enggak. Kalau pun ada, paling satu kambing. Itu juga buat satu kampung.”

Satu kambing untuk satu kampung bukan hal yang asing bagi mereka. Sudah terbiasa dengan pembagian kecil-kecil, daging kurban dibagi sedemikian rupa agar semua mendapat bagian. Sekadar satu atau dua potong. Tidak cukup untuk makan bersama keluarga, tapi cukup untuk membuat mereka tersenyum.Di tempat lain, mungkin daging kurban bisa dinikmati selama seminggu. Disimpan di kulkas, dimasak dengan berbagai menu.
Tapi di daerah Kecamatan Cijeruk, tidak ada yang berlebih. Bahkan sebagian keluarga hanya pernah mencicipi daging kurban satu kali dalam beberapa tahun. Tahun lalu, hanya ada dua kambing yang disembelih: satu dari seorang dermawan luar, satu lagi dari warga setempat yang masih mampu. Dua kambing untuk dibagi kepada 70 kepala keluarga.
Jika dihitung secara ideal, setiap keluarga seharusnya menerima sekitar satu kilogram daging. Tapi tentu saja, kondisi di lapangan berbeda. Karena ingin merata, daging dibagi dalam potongan kecil, hanya beberapa ons per rumah. Tidak banyak, tapi cukup untuk menumbuhkan rasa syukur. Menariknya, di tengah keterbatasan itu, tidak terdengar keluhan. Tidak ada protes. Warga tetap menjalankan Idul Adha dengan lapang dada.
Mereka bersyukur bukan karena jumlah, tetapi karena masih bisa ikut merasakan. Rasa syukur itu lahir bukan dari kelimpahan, melainkan dari kebersamaan dan semangat berbagi, walau hanya sedikit.
Inilah yang menjadi alasan kuat mengapa kampanye kurban tahun ini perlu diarahkan kepada daerah-daerah di Cijeruk. Bukan karena mereka meminta, tetapi karena mereka layak mendapat perhatian.
Mereka punya hak yang sama untuk merasakan nikmatnya berkurban, untuk menikmati daging segar di hari raya, dan untuk merasa bahwa mereka tidak dilupakan. Program kurban bukan hanya soal menyembelih hewan. Ia adalah simbol dari kasih sayang, keadilan sosial, dan kepedulian antar sesama. Ketika seekor kambing bisa dibagi ke puluhan keluarga, dan menyalakan kebahagiaan kecil di hati anak-anak desa, maka di sanalah kurban menemukan maknanya yang paling hakiki.

Tahun ini, mari kita ubah cerita itu. Mari bawa kembali senyum ke wajah-wajah yang sudah lama menanti. Bukan karena mereka berharap banyak, tetapi karena mereka pantas untuk bahagia di hari yang suci ini. Bersama, kita bisa kirimkan secuil bahagia dalam sebungkus daging kurban. Karena di balik potongan itu, tersimpan harapan yang lama terpendam, ada tawa anak-anak yang nyaris terlupa, dan ada pelukan hangat dari saudara yang tak pernah kita temui. Kurban bukan sekadar ritual, tapi wujud cinta yang mampu menembus batas waktu dan jarak.
Bayangkan, dari seekor kambing yang disembelih di kota, tumpah keberkahan sampai ke desa yang sudah tiga tahun menanti. Dari satu niat yang ikhlas, mengalir kebaikan ke 70 pintu rumah. Dari satu keputusan untuk berbagi, hadir perayaan yang lebih merata.

Mari kita jadi bagian dari perubahan itu. Mari jadi alasan mengapa seorang ibu tersenyum lega, seorang anak mencicipi daging kurban untuk pertama kalinya, dan sebuah kampung merasakan bahwa mereka tak sendiri. Sebab, kebahagiaan bukan hanya milik yang dekat dan terlihat. Ia juga milik mereka yang jauh, yang hanya butuh sedikit kepedulian untuk kembali merasa dihargai.
Tahun ini, biarlah kurban kita menempuh perjalanan yang lebih jauh. Melewati aspal dan lumpur, naik bukit dan menembus kabut, lalu tiba dengan lembut di tangan-tangan yang bersyukur. Kita tidak hanya menyembelih hewan. Kita sedang menghidupkan harapan. Kita sedang menulis ulang cerita Idul Adha. Dan setiap tetes darah yang mengalir, insyaAllah menjadi saksi cinta yang tak pilih-pilih tempat berlabuh.