Emang iya Dunia Itu Tipu-tipu?

Kamu mungkin sering mendengar orang bilang, “Ah, dunia ini cuma tipu-tipu.” Ada yang mengucapkannya dengan nada bercanda, ada pula yang benar-benar yakin. Tapi, emangnya kamu sudah benar-benar memahami apa maksud dari kata-kata itu? Atau jangan-jangan, kamu hanya ikut-ikutan mengulanginya tanpa tahu kedalamannya?
Sebagai seseorang yang sudah lama mengamati kehidupan, saya ingin mengajak kamu untuk berhenti sejenak, lalu merenung. Kehidupan ini memang indah, penuh warna, penuh janji, tapi di balik semua itu ada jebakan halus yang bisa membuatmu lupa tujuan sebenarnya. Allah sudah mengingatkan kita dalam Al-Qur’an, “Ketahuilah, bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam harta dan anak keturunan…” (QS. Al-Hadid: 20).
Ayat ini bukan sekadar teks, tapi peringatan keras agar kamu tidak terjebak. Kehidupan nyata memang memberi rasa manis, tapi ia bisa berubah pahit dalam sekejap. Ia akan memanjakan dirimu, tapi sekaligus bisa memperdaya.
Bisa Menipu dengan Cara Halus
Kamu tahu apa yang paling berbahaya dari itu? Bukan kerasnya cobaan, bukan juga pahitnya penderitaan. Justru yang paling berbahaya adalah kenyamanannya.
Ketika kamu berhasil punya uang banyak, punya posisi, punya pengikut di media sosial, atau bahkan sekadar pujian dari orang lain, di situlah arti kehidupan sedang menguji kamu. Ia membisikkan, “Kamu hebat. Kamu istimewa. Nikmati saja.” Tanpa sadar, kamu jadi lalai, merasa cukup, merasa tinggi, lalu melupakan bahwa semua itu hanyalah titipan.
Seorang filsuf modern, Erich Fromm, dalam bukunya To Have or To Be? menuliskan bahwa manusia sering terjebak pada kata “memiliki” dibandingkan “menjadi.” kehidupan ini membuat kita merasa berharga karena apa yang kita punya, bukan karena siapa kita sebenarnya. Nah, di sinilah kamu harus sadar. Dunia menipu bukan dengan cara frontal, tapi lewat rayuan halus yang mematikan kesadaran dirimu.
Kamu Hidup Bukan untuk Dunia
Saya ingin kamu berpikir begini, kalau hidupmu hanya sekadar mengejar dunia, maka kamu akan kelelahan. Karena ia seperti bayangan. Kamu kejar, ia akan menjauh. Tapi kalau kamu berjalan lurus menuju cahaya (Allah), maka dalam kehidupanmu akan mengikuti langkahmu.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
“Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari).
Hadis ini sederhana tapi dalam. Nikmat kehidupan bukan untuk selamanya, hanya sekadar perjalanan singkat. Kamu ibarat musafir yang berhenti sebentar di sebuah halte sebelum melanjutkan perjalanan jauh. Pertanyaannya, apakah kamu hanya sibuk mengumpulkan kenyamanan di halte, atau menyiapkan bekal untuk perjalanan abadi?
Dunia Itu Tipu-tipu, Tapi Jangan Lari darinya

Mungkin kamu berpikir, kalau dunia itu tipu-tipu, apakah berarti kita harus meninggalkannya? Tidak. Ia memang tipu-tipu, tapi justru karena itu kamu harus cerdas memainkannya. Ia seperti permainan. Kalau kamu menguasai aturannya, kamu bisa menang. Tapi kalau kamu lengah, kamu akan tersingkir.
Allah tidak melarang kita untuk punya harta, jabatan, atau kesuksesan. Yang Allah larang adalah ketika itu semua membuat kita lupa diri dan lupa tujuan. Lihatlah sahabat Nabi seperti Abdurrahman bin Auf. Ia kaya raya, tapi kekayaannya tidak membuatnya lupa. Ia gunakan hartanya untuk membangun umat, bukan untuk menumpuk kesenangan pribadi.
Jadi, kamu tidak salah kalau bermimpi besar, ingin sukses, ingin kaya, ingin terkenal. Tapi ingat, semua itu bukan tujuan akhir. Itu hanyalah kendaraan untuk mengantarkanmu menuju tujuan yang sebenarnya, yaitu Allah.
Dunia Itu Ujian, Bukan Tempat Tinggal
Saya sering bilang kepada anak-anak Exponential Generation, jangan pernah tertipu dengan gemerlap kehidupan ini. Karena ini hanya ruang ujian. Kamu diuji dengan kemiskinan, apakah tetap sabar. Kamu diuji dengan kekayaan, apakah tetap rendah hati. Kamu diuji dengan sakit, apakah tetap bersyukur. Kamu diuji dengan sehat, apakah tetap taat.
Rasulullah SAW bersabda:
“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin, dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim).
Kalau kamu merasa hidup ini penuh batasan, penuh aturan, jangan salahkan Islam. Justru karena Allah sayang, Dia berikan berupa peraturan agar kamu selamat. Kehidupan ini seperti jalan berliku, dan Islam memberi petunjuk supaya kamu tidak tersesat.
Belajar dari Luka dan Kekecewaan
Saya tahu, kamu mungkin pernah dikhianati, disakiti, atau gagal. Di situlah ia menunjukkan wajah aslinya. Ia mengajarkan, bahwa tidak ada yang benar-benar bisa kamu andalkan selain Allah.
Saya sendiri pernah merasakan bagaimana kehidupan ini mempermainkan saya. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang dipuji, kadang dihina. Kadang sehat, kadang sakit. Semua itu hanya mengingatkan saya bahwa ia bukan tujuan, tapi alat pendidikan jiwa.
Psikolog Viktor Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning mengatakan, manusia tidak pernah bisa menghindari penderitaan. Tapi manusia bisa memilih sikap dalam menghadapinya. Sama halnya dengan Kehidupan. Kamu tidak bisa mengontrol bagaimana ia memperlakukanmu, tapi kamu bisa memilih bagaimana cara meresponnya.
Dunia Itu Tipu-tipu, Tapi Akhirat Itu Pasti
Kalau dunia ini hanya sementara, lalu apa yang abadi? Jawabannya, pasti akhirat.
Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:
“Akan tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la:16–17).
Ayat ini seperti wake-up call buat kamu. Dunia boleh indah, tapi jangan sampai membuatmu lupa pada akhirat. Dunia itu fana, tapi akhirat itu nyata.
Maka, gunakan kehidupan ini sebagai ladang. Setiap kebaikan yang kamu lakukan, setiap ilmu yang kamu bagi, setiap senyum yang kamu tebarkan, semua itu tidak hilang sia-sia. Ia akan kembali padamu di akhirat dalam bentuk pahala yang kekal.
Menjadi Exponential Generation yang Tidak Tertipu

Di sinilah peran Exponential Generation. Kamu yang ada di generasi ini harus sadar lebih cepat. Jangan terlambat. Dunia sudah penuh dengan distraksi, seperti media sosial, hiburan tanpa batas, gaya hidup konsumtif. Semua itu bisa menjauhkanmu dari misi besar.
Tugasmu adalah menjadi generasi yang bukan hanya pintar, tapi juga sadar. Bukan generasi yang hanya punya mimpi, tapi tahu cara menyalurkannya untuk kebaikan. Ingat, dunia bisa menipu, tapi kamu tidak boleh tertipu.
Terakhir
Kamu mungkin sering merasa dunia ini kejam. Kadang benar, kadang salah. Yang jelas, ia hanyalah bayangan, bukan cahaya. Ia bisa mempesona, tapi juga bisa mengecewakan. Ia bisa memberi, tapi juga bisa mengambil kapan saja.
Maka, saya ingin mengingatkanmu sekali lagi, jika dunia itu tipu-tipu, tapi jangan biarkan ia menipu kamu. Gunakan ia sebagai jalan, bukan tujuan. Kejar akhirat, maka dunia akan ikut.
Sebagaimana Allah berfirman:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang dia beriman, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik. Dan barangsiapa yang hanya menghendaki kehidupan dunia serta perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan di dunia, tetapi di akhirat mereka tidak mendapat apa-apa kecuali neraka.” (QS. Al-Isra:19–20).
Jangan biarkan dunia mempermainkanmu. Jadilah Exponential Generation yang mampu menaklukkan dunia, bukan ditaklukkan olehnya. Karena pada akhirnya, dunia memang tipu-tipu, tapi orang yang bijak akan tahu cara memanfaatkannya untuk bekal kehidupan yang abadi.
Literatur pendukung
Erich Fromm, To Have or To Be? (1976).
Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning (1946).
Al-Qur’an (QS. Al-Hadid:20, QS. Al-A’la:16–17, QS. Al-Isra:19–20).
HR. Bukhari & Muslim tentang dunia sebagai tempat singgah.