Berani Hanya untuk Manusia Murahan!

Hanya untuk Manusia Murahan

“Gue berani kok!” Kalimat itu sering banget terdengar di tongkrongan, di medsos, atau bahkan keluar dari mulut kita sendiri. Tapi coba berhenti sebentar. Emangnya itu keren? Atau sebenarnya murahan? Kenyataannya, banyak anak muda salah kaprah soal ini.

Tapi coba berhenti sebentar. Emangnya berani itu keren? Atau sebenarnya murahan?Kenyataannya, banyak anak muda salah kaprah soal arti berani. Berani

Mereka pikir berani itu sama dengan nekat, sama dengan melawan aturan, sama dengan jadi “pemberontak.” Padahal kalau cuma dipakai buat hal-hal bodoh, kayak balap liar, ngerokok biar dianggap keren, atau speak up cuma buat menjatuhkan orang lain, itu bukan keren. Itu murahan.

Definisi yang Bikin Salah Kaprah

Di era digital, sering banget kalimat ini dipelintir jadi semacam gaya hidup. Berani tampil beda akhirnya hanya pakai outfit aneh biar viral di TikTok. Berani ngelawan kadang cuma sebatas ngata-ngatain guru di belakang.

Ilmu psikologi menjelaskan hal ini. Laurence Steinberg (2008), seorang pakar perkembangan remaja, bilang bahwa anak muda cenderung punya risk-taking behavior, alias suka ambil risiko tanpa banyak mikir konsekuensi. Nah, di titik inilah bisa dikatakan asal nekat bisa bikin hancur.

Jadi jangan heran kalau banyak anak muda bangga banget bilang: “Gue berani nyoba narkoba, nggak takut!” “Gue kabur dari rumah, bodo amat!” “Gue melawan guru, biar dianggap jagoan!”

Pertanyaannya, itu keberanian? Atau cuma kebodohan yang dibungkus gaya?

Versi Exponential Generation

Azmi Fajri Usman, menekankan pentingnya konsistensi tumbuh dengan cara berpikir dan bertindak secara eksponensial

Azmi Fajri Usman, penemu Exponential Generation, menjelaskan bahwa yang sejati bukan soal nekat, tapi soal punya arah dan tanggung jawab.

Berani itu mahal. Karena bukan semua orang kuat untuk, Berani jujur meski tidak populer. Nolak suap meski keuangan lagi seret. Bilang “tidak” pada teman yang ngajak ke hal negatif. Punya cara berbeda dengan bikin karya, bukan bikin masalah.

Brene Brown (2012) dalam bukunya Daring Greatly bilang bahwa keberanian yang sesungguhnya justru lahir dari kerentanan (vulnerability). Artinya, butuh hati yang kuat untuk tampil apa adanya, bukan untuk terlihat sok kuat.

Nah, inilah bedanya berani murahan dengan yang mahal. Yang murahan gampang banget ditemukan di jalanan, di tongkrongan, di timeline medsos. Tapi yang mahal? Itu yang bikin kamu naik kelas jadi bagian dari Exponential Generation.

Kisah dari Para Ulama

Coba lihat sejarah Islam. Banyak ulama besar yang menunjukkan arti yang sebenarnya.

Imam Ahmad bin Hanbal, saat “fitnah mihnah” (ujian teologis di masa Khalifah al-Ma’mun), beliau dipaksa untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Tapi Imam Ahmad menolak. Hasilnya? Beliau dipenjara, dicambuk, bahkan hampir mati. Tapi beliau tetap bertahan demi kebenaran.

Ibnu Taimiyah, ia berkali-kali masuk penjara karena kritiknya pada penguasa dan pandangannya dalam dakwah. Tapi setiap kali keluar, beliau tetap lantang menyuarakan kebenaran. Baginya, lebih baik masuk penjara berkali-kali daripada diam melihat umat tersesat.

Dua contoh ini nunjukin kalau sifat uni bukan tentang keren-kerenan, tapi tentang siap menanggung konsekuensi.

Anak Muda di Era Disrupsi: Berani yang Mana?

Sekarang coba refleksiin ke diri sendiri. Era disrupsi bikin kita dituntut untuk selalu adaptif. Dunia berubah super cepat. Dalam kondisi ini, yang murahan nggak ada harganya sama sekali.

Zimbardo (2007) dalam The Lucifer Effect menjelaskan bahwa tanpa kesadaran moral, justru bisa membuat seseorang ikut arus keburukan. Misalnya, berani ikut-ikutan hate speech, nge-bully, ngikutin tren negatif. Itu jelas murahan.

Sebaliknya, anak muda yang punya mental Exponential Generation akan milih untuk:

Bikin startup meski dibilang mimpi doang. Speak up tentang isu lingkungan, meski dicap lebay. Ngerjain project sosial, meski orang lain sibuk ngejek. Tetap idealis di tengah tekanan pragmatis. Nah, seperti inilah yang mahal. Kayak gini yang bikin kamu beda kelas dari yang lain.

Kalau Berani Itu Murahan…

Jadi gini, kalau kamu bangga berani ngelawan orang tua, bikin masalah, atau nekat tanpa arah, itu murahan.

Kenapa? Karena semua orang bisa. Siapa pun bisa nekat. Tapi nggak semua orang bisa buat hal yang benar, meski sulit, meski nggak populer.

Makanya, pertanyaan reflektif buat kamu, berani ngaku salah nggak? Kamu minta maaf duluan nggak? Kamu tolak hal yang merugikan orang lain nggak? Kamu ambil jalan panjang daripada jalan pintas yang curang? Kalau iya, selamat. Kamu bukan murahan. Kamu lagi menuju kelas Exponential Generation.

Penutup

ini bukan tentang nekat, tapi tentang nilai. Kalau beranimu cuma buat gaya, itu murahan. Tapi kalau buat perubahan, itu mahal.

Anak muda Exponential Generation adalah mereka yang berani dengan arah, dengan tanggung jawab, dengan tujuan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Jadi mulai sekarang, jangan bangga cuma karena “berani.” Banggalah kalau kamu bisa bikin dunia lebih baik.

Karena pada akhirnya, sejarah nggak mencatat orang-orang yang ugal-ugalan. Sejarah mencatat mereka yang berdiri tegak ketika semua orang memilih diam.

Jadi, kamu pilih berani murahan, atau bikin sejarah?

Referensi

Brown, B. (2012). Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead. Penguin.

Steinberg, L. (2008). A Social Neuroscience Perspective on Adolescent Risk-Taking. Developmental Review, 28(1), 78–106.

Zimbardo, P. (2007). The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil. Random House.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top