Bedakan Kesalahan Dan Kelemahan

Apa Bedanya Kesalahan dan Kelemahan?

Kamu pernah nggak, merasa gagal hanya karena melakukan kesalahan kecil? Misalnya, lupa bawa kunci, salah ngomong di depan orang lain, atau bahkan sekadar telat bangun. Atau kamu pernah bilang ke diri sendiri, “Aku memang lemah.” Padahal sebenarnya itu bukan kelemahan. Itu cuma kesalahan.

Di sisi lain, mungkin kamu sering merasa kesalahan yang kamu lakukan berulang-ulang itu cuma masalah biasa. Kamu pikir gampang diperbaiki, padahal sebenarnya itu bagian dari kelemahan yang memang butuh latihan panjang. Nah, di sinilah masalahnya, banyak orang salah membedakan mana kesalahan dan mana kelemahan.

Kalau kamu salah paham soal ini, kamu bisa jadi orang yang paling keras menghakimi diri sendiri, atau sebaliknya, jadi orang yang paling memanjakan diri sendiri. Padahal, sebagai bagian dari Exponential Generation, sebuah kurikulum yang saya temukan untuk melahirkan generasi lompatan besar, kamu nggak boleh terjebak di situ. Kamu harus tahu cara membedakan kesalahan dan kelemahan di tempat yang tepat.

Kesalahan Itu Guru, Kelemahan Itu Ladang Latihan

Kamu mungkin kaget atau bahkan tersinggung waktu baca judul ini. Masa iya sih, orang pemaaf itu bodoh?

Pertama, mari kita luruskan dulu.

Kesalahan adalah sesuatu yang kamu lakukan karena pilihan yang keliru. Misalnya, kamu telat mengerjakan tugas karena kesibukkan yang lain sampai lupa. Itu salah. Salah karena kamu bisa memilih lebih disiplin, tapi tidak kamu lakukan.

Sedangkan kelemahan adalah keterbatasan yang memang ada dalam dirimu, dan untuk mengatasinya butuh waktu, proses, bahkan bantuan orang lain. Contohnya, kamu mudah lupa karena pola tidurmu buruk, atau kamu sulit bicara di depan umum karena memang belum terlatih.

Jadi, bedanya gini, kesalahan adalah tindakan yang bisa kamu perbaiki dengan cepat dan dengan keputusan yang tepat. Sedangksn kelemahan adalah sesuatu yang butuh proses jangka panjang untuk diperkuat.

Contoh sederhananya gini, kalau kamu jatuh karena nggak lihat jalan, itu sebuah kesalahan. Dan kalau kamu lambat lari karena memang belum terbiasa olahraga, itulah kelemahan.

Masalahnya, banyak anak muda sekarang mencampuradukkan keduanya. Akhirnya, kesalahan kecil dianggap kelemahan diri. Atau sebaliknya, kelemahan diri yang serius dianggap cuma salah kecil yang bisa diabaikan.

Kenapa Kamu Harus Bisa Membedakannya?

Karena hidupmu bergantung pada cara kamu memandang diri sendiri.

Kalau semua kamu anggap kesalahan, kamu akan jadi orang yang terlalu keras sama diri sendiri. Bayangkan, setiap hal kecil langsung kamu tuduh diri sendiri sebagai orang gagal. Akhirnya kamu hidup penuh penyesalan.

Sebaliknya, kalau semua kamu anggap kelemahan, kamu akan jadi orang yang terlalu memanjakan diri. Semua dianggap wajar, semua dimaklumi, padahal sebenarnya banyak hal yang bisa kamu perbaiki dengan cepat kalau kamu mau.

Exponential Generation mengajarkan kamu untuk tumbuh lebih cepat dari kebanyakan orang. Tapi kamu nggak bisa melompat tinggi kalau salah menilai dirimu sendiri. Kamu harus berpikir dengan jernih, tahu mana yang salah harus diperbaiki segera, mana yang lemah harus dilatih dengan sabar.

Perspektif dari Al-Qur’an

Al-Qur’an memberi panduan luar biasa soal ini. Allah berfirman dalam QS. Al-Hasyr:18:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok…”

Ayat ini menekankan pentingnya evaluasi. Kamu disuruh memperhatikan apa yang sudah kamu lakukan. Itu berarti: lihat kesalahanmu, perbaiki. Lihat kelemahanmu, latih.

Lalu dalam QS. Az-Zumar:53, Allah berfirman:

“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya…”

Ini bukti bahwa kesalahan bukan akhir dari segalanya. Kamu mugkin saja berbuat salah, tapi jangan sampai berputus asa. Justru kesalahan adalah ruang untuk belajar.

Dan dalam QS. An-Najm:39 disebutkan:

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.”

Ayat ini menegaskan bahwa kelemahan bisa diatasi lewat usaha. Kamu mungkin lemah di satu bidang, tapi dengan usaha yang benar, kelemahan itu bisa jadi kekuatan.

Belajar dari Pengalaman Hidup

Konsep ini ditemukan oleh Azmi Fajri Usman. Beliau bikin kurikulum ini buat ngasih tau anak muda kalau menemukan diri itu ada di karakter jiwa kita.

Saya, Azmi Fajri Usman, dari kecil sudah tumbuh dengan banyak keterbatasan. Sejak kecil saya yatim piatu. Waktu bersama ayah sangat sedikit, dan ibu saya pun meninggal setelah kepergian ayah saya. Bahkan saya sendiri nggak punya foto ayah. Banyak orang mungkin melihat itu sebagai kelemahan besar.

Tapi saya coba untuk belajar, kalau terus-terusan menganggap itu kelemahan, saya akan hancur. Maka saya mengubah cara pandang. Saya bilang pada diri sendiri “Ini bukan kelemahan, ini ladang latihan.” Saya belajar untuk mandiri, belajar kuat, belajar bagaimana menjadi ayah bagi anak-anak yatim lain.

Di sisi lain, saya juga pernah melakukan banyak kesalahan. Pernah salah mengambil keputusan, salah menaruh prioritas, bahkan salah menilai orang. Tapi saya tidak biarkan kesalahan itu menghancurkan proses saya untuk bertumbuh. Maka dari itu saya jadikan kesalahan itu sebagai pelajaran.

Cara Praktis Untuk Membedakannya

Sekarang, biar lebih jelas, aku kasih cara praktis buat kamu:

Tanya dirimu, bisa aku perbaiki sekarang gak, ya?
Kalau bisa, itu kesalahan. Kalau butuh proses panjang, itu kelemahan.

Apakah masalahnya muncul berulang-ulang meski aku sudah coba perbaiki?
Kalau iya, besar kemungkinan itu kelemahan.

Apakah orang lain bisa mengingatkan dan aku langsung berubah?
Kalau iya, itu kesalahan. Kalau tetap sulit, itu kelemahan.

Apakah aku harus latihan terus-menerus untuk memperbaikinya?
Kalau iya, itu kelemahan.

Refleksi untuk Kamu

Sekarang coba kamu tulis dua hal apa kesalahanmu hari ini dan apa pelajaran yang bisa kamu ambil darinya?

Lalu apa kelemahanmu yang paling terasa dan strategi apa yang bisa kamu gunakan untuk melatihnya?

Jangan biarkan dua hal ini bercampur. Karena kalau kamu keliru, hidupmu akan selalu penuh kebingungan.

Ingat, kesalahan itu sementara. Kelemahan itu proses. Dan keduanya adalah bagian dari perjalananmu sebagai Exponential Generation.

Banyak tokoh sudah membahas pentingnya evaluasi diri

Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence (1995) menjelaskan bahwa kemampuan mengenali diri sendiri adalah fondasi kecerdasan emosional. Ini selaras dengan membedakan kesalahan dan kelemahan.

Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People (1989) menyebut evaluasi diri sebagai cara untuk terus memperbaharui diri (sharpen the saw).

Dalam jurnal Journal of Personality and Social Psychology (Baumeister et al., 2001), kesalahan dilihat sebagai mekanisme pembelajaran yang membantu manusia berkembang.

Nah, maksud dari semua referensi ini adalah, kamu tidak akan bisa tumbuh kalau tidak bisa jujur melihat dirimu sendiri.

Terakhir

Kamu tidak perlu takut salah, karena kesalahan adalah guru terbaikmu. Kamu juga tidak perlu malu lemah, karena kelemahan adalah ladang latihanmu. Yang berbahaya itu kalau kamu tidak bisa membedakan keduanya.

Kalau semua kamu anggap salah, kamu akan hidup dalam penyesalan. Kalau semua kamu anggap lemah, kamu akan hidup dalam pembenaran. Tapi kalau kamu bisa membedakan, kamu akan hidup dengan keseimbangan, yaitu untuk cepat belajar dari kesalahan, dan sabar melatih yang menjadi kelemahan.

Saya percaya, kalau Exponential Generation adalah generasi yang bisa melompat jauh lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat. Tapi itu semua dimulai dari hal sederhana, yaitu belajar membedakan kesalahan dan kelemahan.

Ingat pesan yang saya sampaikan, “Semangat adalah kehidupan dan kebersamaan.”
Jadi, jangan berhenti hanya karena kamu salah atau lemah. Gunakan semangatmu untuk memperbaiki kesalahan, dan kebersamaan untuk menguatkan kelemahan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top