Inovatif Itu Kejam, Tapi Dunia Lebih Kejam Tanpa Itu

Di zaman ini, satu kata yang paling sering bikin orang resah sekaligus bersemangat adalah inovasi. Ia dipuja sebagai kunci masa depan, tapi di saat yang sama ditakuti karena dampaknya bisa menghancurkan apa pun yang sudah mapan. Inovasi itu memang kejam. Ia memaksa orang keluar dari zona nyaman, meruntuhkan bisnis lama, bahkan menghapus pekerjaan yang sudah diwariskan turun-temurun.
Namun, ironinya adalah, dunia jauh lebih kejam tanpa inovasi. Kalau kita berhenti berinovasi, kita akan menghadapi krisis yang lebih ganas, mulai dari iklim yang rusak, energi yang habis, sampai kesehatan global yang rapuh. Inilah dilema yang harus dihadapi oleh Exponential Generation, generasi yang lahir dan tumbuh dalam percepatan luar biasa, sebuah konsep yang pertama kali ditemukan Azmi Fajri Usman melalui RQV Foundation.
Inovasi Sudah Kejam Sejak Lahir
Sejarah membuktikan, setiap inovasi besar selalu datang dengan sisi kejamnya sendiri. Revolusi industri di abad ke-18 menciptakan mesin uap yang menggantikan ribuan pekerja manual. Orang-orang yang dulu menggantungkan hidup pada tenaga otot kehilangan pekerjaan mereka, sementara yang beradaptasi dengan mesin justru melesat.
Hal yang sama terjadi di era digital. Internet, media sosial, hingga kecerdasan buatan membuat banyak profesi usang dalam sekejap. Menurut Brynjolfsson & McAfee (2014) dalam The Second Machine Age, teknologi digital bukan hanya mempercepat pekerjaan, tapi juga menggantikan manusia di bidang yang dulu dianggap “mustahil” diotomatisasi, seperti akuntansi, penerjemahan, hingga penulisan konten.
Itulah sifat dasar inovasi, ia memilih siapa yang bertahan, siapa yang tersingkir. Tidak peduli siapa pun, kalau nggak mau berubah, pasti tergilas.
Exponential Generation Sudah Hidup Dalam Kecepatan!

Kalau di masa lalu orang masih punya waktu puluhan tahun untuk beradaptasi dengan inovasi, lain cerita dengan Exponential Generation. Generasi ini hidup dalam kecepatan exponential, seperti teknologi, informasi, dan budaya bergerak begitu cepat hingga perubahan bisa terjadi hanya dalam hitungan bulan, bahkan hari.
Kurikulum ini dijelaskan oleh Azmi Fajri Usman, pendiri RQV Foundation, yang melihat bahwa generasi saat ini tidak lagi hidup dalam ritme linear. Mereka lahir di era ketika inovasi bukan sekadar tambahan, melainkan fondasi hidup. Dari cara belajar, bekerja, hingga membangun relasi, semuanya dipengaruhi oleh percepatan inovasi.
Contohnya jelas. TikTok butuh kurang dari 5 tahun untuk menyaingi dominasi YouTube yang sudah belasan tahun. ChatGPT hanya butuh beberapa bulan untuk mencapai ratusan juta pengguna dan mengguncang industri pendidikan, bisnis, dan media. Semua ini menunjukkan bahwa inovasi bukan pilihan, tapi hukum alam yang wajib ditaati oleh Exponential Generation.
Inovasi Itu Menyakitkan, Tapi Tanpa Itu Dunia Lebih Brutal
Namun, bayangkan kalau kita menolak inovasi. Dunia akan lebih kejam. Kenapa? Karena masalah-masalah besar seperti krisis iklim, energi, kesehatan, dan pangan nggak bisa diselesaikan dengan cara lama.
Mari bayangkan kalau inovasi berhenti. Dunia akan lebih brutal daripada kejamnya perubahan.
Jika kesehatan tanpa inovasi, kita nggak akan punya vaksin cepat tanggap seperti saat pandemi COVID-19. Studi Kraemer et al. (2020) di Science menegaskan betapa krusialnya mobilitas data dan teknologi untuk mengendalikan penyebaran penyakit.
Jika lingkungan tanpa inovasi energi terbarukan, kita akan terus bergantung pada fosil yang memperparah pemanasan global. Laporan World Economic Forum (2023) menekankan bahwa solusi atas krisis iklim hanya bisa datang dari inovasi teknologi hijau.
Jika ekonomi tanpa inovasi, jurang kesenjangan makin lebar. Inovasi memang bikin beberapa orang tertinggal, tapi ia juga membuka peluang baru yang jauh lebih besar bagi mereka yang berani belajar.
Jadi, benar kalau inovasi itu kejam, karena ia menghancurkan status quo. Tapi jauh lebih benar kalau dunia tanpa inovasi adalah neraka yang lebih ganas.
Inovasi Sebagai Survival Kit Generasi Kita
Bagi Exponential Generation, inovasi adalah survival kit. Bukan sekadar keren-kerenan atau gaya hidup, tapi benar-benar soal bertahan hidup.
1. Pekerjaan: Banyak profesi lama hilang, tapi muncul profesi baru yang dulu nggak terpikirkan, seperti content creator, data scientist, AI trainer. Yang nggak inovatif bakal hilang, yang adaptif akan memimpin.
2. Relasi Sosial: Inovasi mengubah cara kita berinteraksi. Hubungan sosial bisa dibangun lintas benua dalam hitungan detik. Tapi kalau nggak inovatif dalam berkomunikasi, bisa-bisa terisolasi.
3. Pendidikan: Sistem belajar tradisional makin ditantang. Inovasi digital learning bikin kita bisa belajar apa saja, kapan saja. Yang menolak inovasi ini akan tertinggal.
Pilihan yang Nggak Pernah Netral

“Inovatif itu kejam, tapi dunia lebih kejam tanpa itu.” Kalimat ini bukan sekadar provokasi, tapi cermin realitas. Inovasi memang menuntut pengorbanan tenaga, waktu, bahkan rasa aman. Tapi tanpa inovasi, kita semua akan hidup dalam dunia yang lebih keras, penuh krisis, dan minim harapan.
Azmi Fajri Usman lewat kurikulum yang ia temukan, Exponential Generation sudah mengingatkan bahwa generasi ini bukan generasi yang bisa leha-leha. Kita adalah generasi yang dipaksa untuk melompat, bukan sekadar melangkah.
Jadi pilihannya sederhana, mau sakit sedikit karena inovasi, atau mati pelan-pelan karena dunia yang lebih brutal?
Referensi
Brynjolfsson, E., & McAfee, A. (2014). The Second Machine Age: Work, Progress, and Prosperity in a Time of Brilliant Technologies. W. W. Norton & Company.
Kraemer, M. U. G., et al. (2020). The effect of human mobility and control measures on the COVID-19 epidemic in China. Science, 368(6490), 493–497.
World Economic Forum. (2023). The Future of Growth Report 2023. Geneva: WEF.
Azmi Fajri Usman, Exponential Generation. RQV Foundation.
Inovasi dan inspirasi itu beda atau sama ?
ini adalah pilar c4 dalam exponetial generation.. dan betul inovasi adalah fondasi dalam hidup..