Jangan Jadi Santun Kalau Mau Sukses

Jangan Jadi Santun Kalau Mau Sukses

Sering banget sikap ini dipandang sebagai kunci agar diterima di lingkungan sosial. Anak muda yang punya sikap ini dianggap sopan, “baik-baik,” dan patut dihargai. Tapi pernah nggak sih kamu merasa kalau terlalu beroebihan justru bikin kamu susah maju?

Banyak orang akhirnya salah kaprah memahami. Mereka kira itu artinya harus selalu nurut, nggak boleh menolak, selalu mengalah, atau menekan pendapat sendiri supaya dianggap baik. Nah, kalau kayak gitu, bener banget, kalau sikap ini bisa jadi penghalang sukses.

Padahal, dalam pandangan Exponential Generation yang ditemukan oleh Azmi Fajri Usman, santun bukan sekadar “tahu aturan,” tapi karakter jiwa yang bikin kamu tetap tegas, berani, dan bernilai tanpa kehilangan respect pada orang lain.

Santun Bukan Lemah Lembut Palsu

Psikolog Adam Grant dalam bukunya Give and Take (2013) menjelaskan bahwa orang-orang yang terlalu “taker-friendly” atau terlalu ingin menyenangkan semua orang, justru sering kehabisan energi, dimanfaatkan, bahkan gagal mencapai potensi terbaiknya.

Artinya, kalau sikap ini dipahami hanya sebagai sikap “yes man” selalu iya, selalu manut maka bisa jadi racun. Kamu kehilangan keaslian, nggak bisa bersuara, dan akhirnya tenggelam dalam ekspektasi orang lain.

Santun versi Exponential Generation berbeda. yaitu kesadaran karakter untuk tetap menjaga martabat, menghargai orang lain, tapi juga mampu menyampaikan kebenaran dengan tegas. Ini bukan berarti lemah, tapi cara untuk tetap kuat tanpa arogan.

Santun yang Salah dan yang Benar

Santun yang Salah, selalu mengalah meskipun disakiti. Menyembunyikan pendapat demi tidak menyinggung.Takut terlihat berbeda, akhirnya ikut arus. Jadi topeng kepura-puraan.

https://share.google/cevOETWFxOve3UGjp

Santun yang Benar (versi Exponential Generation), menghargai orang lain, tapi berani berkata tidak. Menyampaikan kritik dengan cara yang berkelas. Berani tampil beda tanpa merendahkan yang lain. Ini karena kesadaran jiwa, bukan pencitraan. Dengan santun yang benar, kamu justru lebih dipercaya. Orang bakal lihat kamu bukan cuma cerdas, tapi juga punya karakter kuat.

Bukti dari Penelitian

Ada riset menarik dari Journal of Applied Psychology (Grant & Patil, 2012) yang menunjukkan bahwa karyawan yang bisa menyampaikan pendapat dengan cara assertive tapi tetap menghargai orang lain, lebih dihargai dalam tim dan punya peluang besar dipromosikan.

Sebaliknya, mereka yang terlalu “overly agreeable” (santun tapi pasif) sering dipandang kurang berkontribusi. Nah, ini bukti ilmiah bahwa yang benar justru memperkuat jalan menuju sukses, sementara santun yang salah bisa menghambat.

Selain itu, penelitian dari Harvard Business Review (Porath & Pearson, 2013) menegaskan bahwa kesantunan yang sejati, yakni menggabungkan respect dengan keberanian menyampaikan ide mampu meningkatkan kolaborasi dan produktivitas tim. Jadi, bukan tentang menjadi pasif, tapi tentang bagaimana menyampaikan energi positif sekaligus menjaga keberanian.

Versi Exponential Generation

Dalam kurikulum Exponential Generation, sikap ini bagian dari karakter jiwa. Bukan sekadar etika luar, tapi energi batin untuk menjaga relasi tanpa kehilangan jati diri.

Santun ala Exponential Generation berarti:

1. Cinta → lahir dari rasa cinta pada sesama.

2. Empati → Bisa menempatkan diri di posisi orang lain.

3. Keberanian → Tetap jujur dan tegas, meski tidak selalu menyenangkan.

4. Ketulusan → bukan akting, tapi refleksi hati.

Kombinasi inilah yang bikin anak muda Exponential Generation bisa menembus batas, dihormati karena kebaikan sekaligus disegani karena ketegasan.

Contoh Nyata, yang Mengubah Dunia

Kalau kita lihat sejarah, banyak tokoh besar yang sukses justru karena mampu menjaga sikapnya, tapi tetap tegas.

Nelson Mandela: meski dipenjara selama 27 tahun, ia tetap menjaga kesantunan dalam berjuang. Tapi santunnya bukan berarti pasrah. Ia tegas melawan ketidakadilan, tapi dengan cara bermartabat.

Imam Al-Ghazali: dikenal santun kepada gurunya dan sesama ulama, tapi gagasan dan kritiknya revolusioner, bahkan sampai mengubah arah pemikiran Islam.

Steve Jobs: meski keras dalam bekerja, Jobs paham cara menjaga respect dalam momen-momen penting. Kesantunan versi dia adalah menghargai kualitas ide, bukan asal menyenangkan orang.

Jadi, sikap yang benar itu bukan penghalang, tapi justru pintu masuk untuk membangun pengaruh besar.

Dalam Kehidupan Anak Muda

Di tengah tantangan ini, hadir konsep Exponential Generation, penemuan brilian dari Pak Azmi Fajri Usman yang menekankan pentingnya pertumbuhan jiwa, akal, raga, dan spiritualitas secara eksponensial. Konsep inilah yang bisa menjadi kunci untuk membuka pintu menuju Indonesia Emas.

Kalau dikaitkan ke kehidupan sehari-hari, anak muda sekarang sering menghadapi dilema. Di satu sisi, ingin dianggap sopan dan tidak menyinggung siapa pun. Di sisi lain, ada kebutuhan untuk berani speak up.

Masalahnya, banyak yang jatuh ke yang salah, takut menolak ajakan teman meski bertentangan dengan prinsip, diam saat ada ketidakadilan di sekitar, atau memilih “baik-baik saja” padahal hatinya menolak.

Nah, ini yang mau diluruskan Exponential Generation. Santun itu bukan berarti nggak boleh menolak, tapi gimana cara menolak dengan cara yang elegan. dan bukan berarti diam, tapi bagaimana bicara dengan kata-kata yang membangun.

Jadi, Jangan Jadi Santun Kalau Mau Sukses?

Yes, jangan jadi santun yang salah kaprah. Jangan jadi orang yang kehilangan suara demi terlihat baik. Jangan sembunyikan ide brilianmu cuma karena takut dibilang “nggak sopan.”

Jadilah versi Exponential Generation, santun yang penuh cinta, empati, dan keberanian. dan yang bikin kamu dihormati, bukan diremehkan.

Kalau kamu bisa menjaga yang benar, kamu nggak cuma sukses secara pribadi, tapi juga bisa jadi role model buat orang lain.

Literatur:

Grant, A. (2013). Give and Take: A Revolutionary Approach to Success. Penguin.

Grant, A. M., & Patil, S. V. (2012). Challenging the norm of self-interest: Minority influence and transitions to helping norms in work units. Journal of Applied Psychology, 97(1), 123–137.

Porath, C., & Pearson, C. (2013). The price of incivility: Lack of respect hurts morale—and the bottom line. Harvard Business Review, 91(1-2), 114–121.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top